“MENGGALI POTENSI SURAU menjadi/sebagai ISLAMIC CENTER”
oleh : Taufik Ahmad Taudjidi – Imam Basa Nagari Gunuang (Kutipan Khutbah Idul
Fitri 1433 H, 19 Agustus 2012, di Lapangan SMPN 3 Padang Panjang)
Allahu akbar, Allahu akbar, Walilahil-Hamd
Kaum Muslimin yang berbahagia, Saat ini, dalam rangka membangun kemandarian
bangsa guna menghadapi persaingan di era globalisasi, tengah digulirkan konsep
pembangunan berbasis kearifan lokal atau local wisdom. Yaitu, konsep
pembangunan berbasis pada kondisi budaya lokal, termasuk mengacu pada
pesan-pesan moral dan motivasi yang hidup di masyarakat. Salah satu”kearifan
lokal” yang ada di Ranah Minang, adalah berlakunya SISTEM MATRILINEAL, yaitu
sistem waris harta pusaka tinggi yang berpuncak dan turun temurun pada garis ibu.
Saat ini, di seluruh dunia, hanya terdapat 4 (empat) suku bangsa yang menganut
sistem Matrilineal, yaitu sebuah suku bangsa di benua Afrika, sebuah suku
Indian di benua Amerika , sebuah suku di India dan satu-satunya suku di
Indonesia, yaitu Minangkabau.
Sistem matrilineal dengan segala sub-sistemnya
adalah “Tiang Agung Minangkabau” kata alm Buya Hamka. Hak Waris Harta pusaka
tinggi sebagai sub sistem dari sistem Matrilineal, hendaknya harus tetap dijaga
keberadaannya. Harta pusaka tinggi adalah harta bersama sebuah kaum, adalah
harta bersama untuk dinikmati, bukan harta untuk dibagi-bagi. Pewarisan harta
pusaka tinggi adalah hanya sekedar peralihan peran, bukan peralihan milik.
Harta pusaka tinggi turun dari niniek ka mamak, dari mamak ka kamanakan dan seterusnya
ka bawah menurut garis ibu. Harta pusako tinggi tak boleh berpindah tangan
karena diperjual-belikan. Harta Pusako tinggi adalah sebagai bukti “asal-usul”
seseorang atau kaum. Seseorang dapat dikatakan adalah keturunan Minang, hanya
apabila masih mempunyai harta pusako tinggi. Dalam adat, ini dikatakan: “Nan ba
pandam ba pakuburan, nan basasok bajarami, kok dakek dapek dikakok, kok jauah
dapek diantakan” Apabila sebuah keluarga atau kaum tak lagi punya harta pusako
tinggi, orang atau keluarga itu tidaklah lengkap keminangkabauannya, bahkan
sudah dianggap punah. Mereka tak perlu lagi punya panghulu, karena adat berdiri
diatas pusako tinggi. Dari uraian ringkas diatas, dimensi kearifan lokal yang
menyertainya adalah: Bahwa sejauh manapun anak-cucu orang Minang pergi
merantau, bahkan sampai ke Australia atau ke Amerika, selama mereka masih punya
harato pusako tinggi, mereka dan anak keturunannya akan tetap punya kampung
halaman di Ranah Minang, dan mereka tetap bangga dengan RanahMinang. Kondisi
emosional itulah tampaknya yang terpancar dari gegap gempitasetiap acara
“pulang Basamo”, seperti yang tampak pada setiap lebaran saat ini.
Kaum
Muslimin yang berbahagia, Keunikan lain dari alam minangkabau yang mencerminkan
kearifan lokal adalah adanya Falsafah Hidup yang sangat terkenal: “ ADAT
BERSANDI SYARA’, SYARA’ BERSANDI KITABULLAH”. Nilai-nilai Agama Islam, yang
menganut sistem patrilineal, secara arif diterima oleh adat dan budaya
Minangkabau tanpa mengorbankan adat budaya yang berlaku. Bahkan Nilai-nilai
agama dan adat saling memperkuat, kokoh dalam keserasian dan keharmonisan,
menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Saling isi mengisi. Kaum adat dan kaum
agama bekerjasama saling bahu membahu membangun masyarakat. Perpaduan ini telah
melahirkan harmoni sosial di bawah sistem kepemimpinan tripartit yang disebut
TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan) yang terdiri dari - Ninik Mamak , Alim Ulama,
dan Cerdik Pandai. Mereka bersinergi menjaga dan menjalankan TTS yang lain
pula, Tali nan Tigo Sapilin, yaitu Adat, Syari’at dan Peraturan/perundangan)
Kesesuaian dan keserasian hubungan ini tak lain karena nilai-nilai adat Minang,
yang digali dan dijalankan sebelum kedatangan Agama Islam, memiliki landasan
yang sama dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis. Misalnya, ketika, ayat Al-Qur’an
yang pertama turun pada tanggal 17 Ramadhan di kota mekkah: Iqra
bismirabbikallazi khalaq # Khalaqal insanamin ‘alaq # Iqra’ warabbukal akram #
Allazi ‘allama bil qalam # ‘Alamal insaa namaa lam ya’lam. • Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan * Yang menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah # Yang mengajar manusia dengan
pena # Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. Jauh sebelum itu,
para ninik mamak di ranah minang telah memberi petuah agar masyarakat Minang
memahami dan mengikuti hakekat hukum alam (sunatullah), seperti petuah dibawah
ini: Api, paneh dan mambaka, Aie, mambasahi dan manyuburkan, Kayu, bapokok,
Ayam, bakokok, Kambiang, mangambiak, harimau mangaum Gunuang, bakabuik, dan
sebagainya. Dipertegas pula dengan petatah lain: Panakiak pisau sirauik, ambiak
galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru, Nan satitiak jadikan lauik,
Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadi guru. Falsafah “alam takambang
jadi guru”, adalah falsafah hidup yang sangat berkesesuaian dengan banyak
firman Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya pada surat ‘ Ar-Ra’d ayat 3, yang
artinya: "Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan
gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua
buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan". Atau firman Allah dalam surat al-Ankabut
<29>: ayat 44: “Khalaqallahus samaa waa ti wal ardha bilhaq* innafii
zalika la aayatal lilmu’ miniin " Allah menciptakan langit dan bumi dengan
tujuan yang jelas. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi orang-orang yang percaya." Itulah sebuah kearifan
lokal di Ranah Minang, sebuah falsafah hidup yang berlandaskan akal dan iman,
yang berpijak pada sunatullah dan tuntunan Al-Qur’an. “Alam takambang jadi
guru”.. “Indak lakang di paneh, indak lapuak di hujan”. Dari dahulu sampai
kini, tak henti, berlaku turun temurun.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar, Walilahil-Hamd Hadirin yang dimuliakan Allah, Bapak-bapak, ibu-ibu,
angku-angku, anak dan kamanakan yang berhadir di tanah lapang ini. Lihatlah
sekeliling kita, Nagari Gunuang yang indah ini, mancaliak ka mudiak, tampak
puncak gunuang Marapi. Mancaliak ka arah Barat ado Gunuang Singgalang nan
manjulang. Mancaliak dari sabalah ateh tampak danau Singkarak yang menyimpan
ikan bilih, yang hanya satu-satunya di dunia, endemik di danau Singkarak. Ini
lah kampuang kito, Gunuang Sajati, gunuang sansai bakuliliang, jo hutan badaun
rimbun, dari mudiak ka ilie tak berhenti aie mangalie. Tahampa sawah-sawah,
dari bukik ka lambah-lambah, bapamatang- bajanjang-janjang. Ado mato aie
bula’an di Sigando, ado mato air di ikue lubuak dan tempat lain. Airnya bersih
bening tak perlu disaring. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,
Walilahil-Hamd Subhanallah, demikian besar anugerah Allah yang tercurah bagi
kita urang nagari Gunuang. Dibandingkan dengan wilayah di belahan lain di muka
bumi, yang kering kerontang, Nagari Gunuang tak lain adalah sebuah Surga yang
terhampar di muka bumi, yang diperuntukkan oleh Allah bagi kita urang nagari
Gunuang. Allah telah memelihara kesuburan tanah kita dengan muntahan abu vulkanik
Gunung Marapi. Hutan-hutan lebat di lereng gunung Marapi berjasa menyimpan air
tanah bagi kehidupan kita dan sawah kita. Kalau pun ada sesekali gempa
vulkanik, tak lain agar kita selalu mengingat Allah, bahwa Allah lah pemilik
alam semesta, kita diingatkan agar selalu menjalankan perintahNya dan
menghindari larangan-Nya, agar supaya kita terhindar dari kemurkaan-Nya. Jadi,
sangat beralasan bagi kita untuk selalu merenungkan firman Allah dalam surat
Ar-rahman yang berulang-ulang dikatakan-Nya:: Fabiayalaa irabbikumaa tukazibaan
(Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?) Allahu akbar, Allahu
akbar, Allahu akbar, Walilahil-Hamd Hadirin yang rahima kumullah Kehadiran
surau di ranah Minang adalah suatu kearifan lokal lain, yang diwariskan oleh niniek
mamak kita, yang perlu kita pelihara.
Di Nagari Gunuang kita mengetahui, ada
surau di Sigando, ada surau di Gantiang, ada surau di simpang Lubuak, ada di
surau Ngalau atau ditempat lainnya. Dahulu, beberapa puluh tahun yang lalu,
tidak ada seorang anakpun disuatu kampung yang tidak belajar mengaji di surau.
Semua anak-anak, siang hari belajar di sekolah umum, malam hari belajar mengaji
di surau. 7 hari dalam seminggu tanpa hari libur. Pada setiap akhir minggu
mengadakan panggung gembira, dengan bernyanyi dan latihan berpidato. Anak-anak
laki-laki yang sudah baliq, oleh ibunya diperintahkan untuk tidur di surau.
Bersama dengan teman sebaya. Hadirin yang dimuliakan Allah. Dari perjalanan
sejarah, kita mengetahui bahwa sejak tempo dulu di Ranah Minang, Surau memiliki
peran penting dalam mendidik generasi muda, surau terbukti sukses menjadi
instrumen pembentuk karakter masyarakat minang. Di surau inilah anak-anak
remaja memulai PERJALANAN untuk memperoleh bekal kecakapan hidup. Di surau
inilah mereka memantapkan eksistensi diri dan kepercayaan diri. Di surau lah
mereka mendapat kecakapan membaca, menulis dan berpidato. Di surau lah mereka
mengasah kecakapan berkomunikasi, berdiplomasi dan bersilat lidah, berpantun,
ber petatah-petitih. Di surau lah mereka memperoleh keterampilan personal
seperti bersilat untuk membela diri. Di surau lah mereka memperoleh kecakapan
sosial – bermasyarakat,Dan Salah satu kecakapan yang penting adalah kecakapan
bermusyawarah untuk mengambil keputusan yang bersandar pada falsafah: “Bulek
air karano pambuluah, bulek kato karano mufakaek”. Sejarah mencatat, bahwa
surau adalah tempat para tokoh atau cendekiawan asal Minang Kabau tempo dulu,
sebut saja seperti Buya Hamka, Moh. Natsir, A.R. Sutan Mansyur, dan banyak lagi
yang lain,yang memulai “perjalanan” hidup mereka melalui surau, guna memperoleh
kecakapan hidup atau apa yang sekarang sangat popular dengan istilah “LIFE
SKILL”.
Hadirin yang dimuliakan Allah Konsep pendidikan yang bernama “LIFE
SKILL” atau “Kecakapan Hidup” itu dicetuskan oleh pakar pendidikan Barat, baru
pada awal tahun 2000 lalu. Konsep ini diamini dan oleh para Pakar Pendidikan
Indonesia yang kuliah di Amerika untuk di gulirkan sebagai konsep unggulan di
Indonesia. Konsep pendidikan “life skill” ala Barat tersebut, menurut pakarnya
meliputi: i)kecakapan adaptasi diri, ii) kecakapan komunikasi, iii) kecakapan
memilih dan memilah masalah, iv)kecakapan mengambil keputusan, v) kecakapan
personal dan sosial. Hadirin yang dimuliakan Allah Ternyata konsep pendidikan
“life skill” yang digagas oleh pakar pendidikan Barat 10 tahun yang lalu itu,
telah dilaksanakan di Ranah Minang oleh para jenius cendekiawan-cadiak pandai,
ninik mamak kita beberapa abad yang lalu, yaitu melalui pendidikan di Surau.
Dengan perkataan lain, kita boleh berbangga hati bahwa pendidikan “life skill”
melalui Surau ternyata telah ada 3 abad lebih, mendahului konsep pendidikan ala
barat yang disebut dengan “life skill education” yang baru digagas di tahun
2000-an itu. Oleh karena itu, rasanya sangat beralasan, bila kita
mempertanyakan, bagaimanakah kini eksistensi SURAU sebagai lembaga pendidikan
yang sudah terbukti berhasil pada jamannya. Bagaimanakah kondisinya kini
ditengah era globalisasi, ditengah adanya penetrasi budaya Barat yang hadir
begitu jauh dalam kehidupan kita melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan
informasi. Timbul sebuah pertanyaan yang mergelitik, Apakah iya ? fungsi surau
sebagai sentra pendidikan yang juga berbasis pada “TIGO TUNGKU SAJARANGAN”,
yaitu berbasis pada “OTAK (akademik), HATI (akhlak mulia) dan TANGAN
(keterampilan), seperti yang pernah digagas dan dijalankan oleh Angku Muhammad
Syafei di INS Kayutanam tahun pada 1926, telah hilang kiprahnya di dunia
pendidikan di Ranah Minang. Hadirin yang dimuliakan Allah Saat sekarang ini
sedang digulir Gerakan Kembali ke Surau, tujuannya adalah untuk membangkitkan
atau menggiatkan lagi atau merevitalisasi fungsi surau sebagai pusat keislaman
(Islamic Center), seperti tempo dulu, dengan maksud agar generasi muda mampu
menghadapi penetrasi budaya asing yang demikian besar dampak buruknya terhadap
kehidupan Islami yang menjadi ciri masyarakat Minang.
Hadirin yang dimuliakan
Allah Gagasan kembali ke Surau, ditengah kegamangan kita menghadapi era globasi
yang ditandai dengan mudahnya teknologi komunikasi dan informasi masuk ke rumah
kita, dengan dampak baik dan buruknya, sangat perlu kiranya kita dukung. Kita
perlu menggali kembali keunggulan pendidikan berciri Surau. Yaitu sebuah konsep
pendidikan keislaman yang berbasis kearifan lokal ala Alam Minangkabau, yang
telah terbukti mampu membekali keterampilan hidup atau life skill bagi
lulusannya. Untuk itu beberapa langkah yang bisa, kita lakukan adalah: •
Pertama: Menginventarisir jumlah surau -surau yang masih ada di setiap kampung
di setiap nagari • Kedua: Membuat kajian atas kondisi surau-surau yang ada,
dilihat dari kondisi fisik, pengelolaan, guru dan peserta didik yang ada. •
Ketiga: Membentuk dan Meningkatkan forum koordinasi atau majelis quro antara
surau di dalam suatu nagari, sampai terbentuk koordinasi setingkat Propinsi. •
Ke empat :Mengikutsertakan peran Pengurus Masjid (DKM), Ninik Mamak (KAN),
Majelis Ulama (MUI), para tokoh pendidik, tokoh orpol dan ormas Islam dalam
rencana pengembangan SURAU MODERN di Ranah Minang. • Kelima : Sesuai dengan UUD
1945 bahwa pendidikan adalah menjadi tugas negara, maka program pengembangan
dan pengelolaan SURAU MODERN mestinya tercermin dalam APBN dalam APBD
Kabupaten/ Kota. ad/ia